Posted by : R-da Adhitya Jumat, 16 September 2011

Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis.



Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep

dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu,

mengutip seorang mantan presiden Amerika.



Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum

Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah



satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.

Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ‘’selevel”; sama-sama berprestasi,



meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf



diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah

kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf



pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak

didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud



menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan



Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari

satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.



Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil

untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah


mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu

betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani



secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol

jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah,



cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata



wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama

besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.

”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu

nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.



Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik.

Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali

menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk

menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini

”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek

minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan

perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali

ngambek.



Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria.

Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya

super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada

keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif

menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya

penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat

diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit

berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut

membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.

Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.




Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!”

kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir,

mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak

lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter.

”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.”

Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah

punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.



Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor

barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia

adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut,

Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya

sendiri. Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil

terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di

tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari

sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri

mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu,

berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya

ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga

kan?” Saya diam saja.



Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya

mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini

konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat.

Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.



Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas

tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis,

lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan

Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..”



Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan

tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang



menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

– Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.



– Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang

amat sangat.



– Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan

ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang



disayanginya. Akan masih ada waktu ‘nanti’ buat mereka jadi abaikan

saja dulu.



– Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan

kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan



mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

MEREKA LUPA BAHWA ALLAH YANG MENENTUKAN SEMUANYA. HIDUP, MATI, RIZQI, JODOH



HANYA ALLAH YANG MENENTUKAN.

– Pelajaran yang sangat menyedihkan.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Translate

Popular Post

Followers

pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © 2013 sekedar tulisan -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -