- Back to Home »
- coretan pena »
- Bahagia Pada Akhirnya
Posted by : R-da Adhitya
Senin, 11 Maret 2013
Aku seorang
penjual bunga. Florist tempat kerjaku ini adalah milikku sendiri. Kini
penghasilanku cukup untuk membiayai hidupku dan aku sangat mencintai
pekerjaanku. Aku adalah seorang wanita yang lahir 25 tahun lalu. Aku tinggal
haya dengan ibu, ibuku yang kini sudah memasuki usia renta. Dirinya memag sudah
tua, tetapi tidak dengan semangatnya. Meski begitu, aku tetap tak
mengizinkannya bekerja terlalu berat, cukup melakuka hal ringan yang dapat ibu lakukan.
Sementara ayahku, aku tak tahu, aku hanya menyimpan rasa penasaran tentangnya,
yang tak kutahu benar tidaknya dugaanku. Namun, ya entahlah aku hanya berkutat
dengan ibu dan hidupku, pasangan tak kupikirkan.
***
Beberapa hari
lalu, hari selalu hujan. Menerbitkanrasa malas dalam diriku. Tapi kucoba untuk
melawannya. Aku selalu bertanya dalam hati atas apa yag menimpaku. Kini, memang
aku sedang berjalan ke sekolahku. Aku kelas 4 SD sekarang dan hanya berumur 10 tahun. Dan aku selalu
memikirkan hal yang tiap pagi harus aku lakukan.
Pagi buta, ibu
membangunkanku, semburat sinar merah mentari telah menusupi lubang-lubang bilik
kamarku. Aku menurut dan bangkit berjalan ke sumur. Kukerek katrolnya dan
kubasuh mukaku dengan 2 kali usapan segar air sumur yang dingin dan sejuk. “Oh..
segarnya, Bu habis ini aku langsung berangkat yaa” pintaku. “Iya sayang” jawab
ibu sembari melajutkan meniup tungku dengan sorong guna membuat apinya besar “hati
hati ya nduk”
Aku mengayuh
menyusuri jalan Dukuh Sabrang dengan sepeda mini. Aku datang ke pengepul lopper
Koran. Segera kutunaikan tugasku. “ada 25 rumah dalam 3 blok yang berbeda yang
harus aku lewati dengan cepat. Tetapi aku harus hati-hati, jalanan masih banyak
yang becek dan menggenang. Harus semangat, batinku.
Belokan pertama,
rumah ke-5, pukul 04. 45. “Kring… KORAN!!” bugk. Itulah kata dan bunyi yang
terdengar ketika aku menunaikan tugasku. Aku sangat senang pagi akhir akhir
ini. Bau tanah lembab begitu menyeruak di hidungku, bercampur dengan semerbak
harum bunga-bunga perdu yang mekar di tepi jalan, melati menjadi bunga yang
paling harum dan anggrek di pohon mangga depan rumah ke-9 blok 1 ini sangat
menyita perhatianku. Juga dengn tepian tanah menghijau banyak ditumbuhi rumput,
pegagan dan lumut.
Tetapi, kini aku
telah melewati 2 blok dan telah melewatkan banyak warna dan harum bunga di
belakang. Kini, aku akan melewati kuburan itu, merinding memang bila
melewatinya, namun entah mengapa aku selalu berhenti sejenak disana dan membuat
rasa damai ingin bersenandung mengucap lirih “Bila ku datang, kau sambutku dengan tawa kelam, badai temaram, Kulihat
kau ayah bagai bunga tertebar di atas pusara”. Ku memandangi lamat-lamat
dengan penuh haru di dalam dada.
***
Ibuku telah
menungguku di rumah dengan singkong rebus di mangkuk. Kepul asapnya benar-benar
hangat di tengah dingin lembabnya pagi. “ayo cepat mandi, air sudah ibu
ambilkan. Embernya ada di dekat padasan-tempat pancur air-“ perintah ibuku. “Iya
bu”. Selesai aku mandi aku berganti seragam SD-ku dan duduk berhadapan dengan
ibu di meja makan reyot ini.
“Bu ini ada uang
dari minggu kemarin, cuman sedikit sih bu” aku memulai pembicaraan. “kamu ini
nduk, selalu saja begitu. Ini ibu terima, tapi uangnya ibu simpen aja yaa buat
kamu dewasa nanti” timpal ibu. “Terserah ibu aja deh, tapi kalo ibu butuh
mendingan dipake aja ya bu”. Keadaan ekonomi seperti inilah yang membuatku
menjadi dewasa dini. Aku tak tahu, aku hanya ingin meringankan beban ibu. Aku
kasihan, dia menjadi pembantu, buruh cuci, atau pengasuh, tetapi hasilnya tak
banyak. Inilah aku yang bertekad membahagiakan ibu.
***
Aku tersadar
dari lamunanku, aku bangkit dari kursiku menuju kulkas di sudut ruanganku kini,
membuat sirup dingin lalu menuju kamarku. Gelas sirup itu kutaruh di atas meja
dan tinggal terisi separuh. Aku berbaring di atas tempat tidurku. Iseng-iseng
ku putar tuning radio ke 89.8 FM di kota Bandung ini. Kudengar bait awal lagu
Yesterday Once More dari The Carpenters lembut dan pas sekali timingnya. “When
I was young I’d listened to the radio waiting for my favorite songs, when they
played I’d sing along.. It made me smile..” aku termenung.
***
Aku beruntung
dapat bersekolah di menengah pertama karena beasiswa Supersemar dan di
menengahh atas pun dapat beasiswa dari komite sekolah karena aku dinilai
berprestasi oleh mereka. Aku beruntung, sungguh sangat beruntung.
Saat ini adalah
saat-saat dimana kelas 3 harus bersiap Ujian Nasional. Aku tahu, aku
benar-benar tahu itu, aku banyak merencanakan hal-hal yang baru dan sangat
hebat menurutku.
Suatu sore dengan langit kemarau yang merah dan hawa dingin
menusuk tulang. Ibuku yang kini sudah
seperti mbok-mbok masih dengan ikat rambut gelungnya dengan juluran uban-uban
disana-sini., “nduk ibu mau ngomong sama kamu” pinta ibu. “Apa Bu? Ngomong aja”
balasku dengan senyum pada ibu.
“Jangan
disini, ayo masuk ke ruang keluarga” rajuk ibu.
“Iya
Bu” aku masuk ruangan, di belakang ibu aku berjalan.
“gini
Nduk, Ibu mau tanya, uangmu dari dulu sampe sisa-sisa beasiswa yang kamu kasih,
apa rela untuk ibu?” tanya ibu setelah duduk selonjor meluruskan tubuhnya yang
kaku termakan usia.
“Ya
Bu, itu memang untuk ibu, toh ibu menggunakannya untuk kebutuhan keluarga,
untuk aku juga”
“oh
ya sudah nduk tapi ibu tak akan mengggunakan uang itu”
“ehmm
bu, rumah sepi yaa bu, cuman ada 2 orang”
“ya
wong adanya cuman ibu sama kamu tok
kok nduk ya sepi lah”
“emang
selama ini ayah dimana bu?”
Ibuku terisak, ia menangis. Kemudian muncul
rasa bersalah dan takut dalam hatiku. Ketika aku ingin minta maaf ibu beranjak
dari duduknya.
Ia
mengambil sesuatu. Itu adalah peti ukir kecil terbuat dari kayu dengan detail
ukir khusus Jepara dan pentol kunci berwarna oranye serta engsel yang berkarat
dilahap waktu. Ibuku membukakannya perlahan untukku. Aku sedikit melongok dan
hanya melihat sesuatu seperti tangkai-tangkai kering dan secarik kertas.
Aku
mengambil kertas itu dan lalu membacanya.. Ibuku mulai bercerita tentang hal
itu. “Dulu ayahmu adalah ayang paling romantis. Seorang sosok lelaki yang
sangat mencintai ibu. Ibu pun sangat mencintai dan menghargainya. Begitu banyak
kukenang tentang ayahmu, aku menjadi sedih. Kenangan terakhir ayahmu telah kau
ketahui, sesuatu yang seperti tangkai-tangkai kering itu adalah bunga,
rangkaian bunga-bunga cantik, mawar, serta bunga-bunga perdu yag dia kumpulkan
untukku. Dia bilag bunga—bunga itu cantik seperti ibu. Ibu senang sekali.
Hingga suatu hari, ia menitipkan surat itu untuk ibu nduk…” Ibu terisak, ia
menangis, ceritanya terpotong tanpa member tahu akhirnya. Aku pilu, tapi aku
sadar, mungkin aku sudah mengetahui akhir ceritanya dari surat ini. “Sudah Bu,
sudah… cukup, maaf Bu.. aku gak punya maksud buat ibu sedih, aku sudah tau dari
surat ini Bu, aku janji gak akan singgung masalah ayah lagi” selaku dalam lelehan
air mata ibu.
***
Hari
pengumuman pun datang dan aku lulus. Aku lulus dengan peringkat ke-2. Aku kalah
aku punya selisih angka dengan yang pertama. Aku juga tau yag mengalahhkanku adalah
Handi, putra pak KepSek yang sekaligus pacarku juga.
“Rahma, aku ngalahin kamu kan?? Hihihi”
ledeknya padaku, “Ah mas Handi gituu, jahat. Emm tapi gak papa lah, kan Mas
Handi yang ngalahin aku” timpalku.
“hehehe,
eh iya Rahma, aku selesai SMA mau lanjut ke Surabaya di UNAIR; Universitas
Airlangga, kan mau jadi insinyur. Hehe” ucapnya “kamu?”
“aku
gak ada pandangan mas, berarti sekarang kita pisah yaa?” tanyaku
“enak aja. Aku tuh cinta sama kamu, kita
gak pisah . Cuman jauhan kok, aku pasti ketemu kamu lagi, tunggu aku yaa, sayang
Rahmaa “ Pintanya dengan senyum cerah menawan yang selalu dapat menggetarkan
hatiku. Lalu dia langsung pergi tanpa menunggu jawaban dariku
***
“Ternyata,
uang yang ibu simpan dahulu aka sangat berharga bagiku. Mulanya, aku merintis
dari kecil hingga aku dapat memboyong ibu ke rumah baruku ini” aku terbayang
dan tersenyum sendiri di atas kasur ini. Dan lagu itu pun kini sudah sampai
akhirnya “It’s yesterday Once More…. Syubidum dam dam” aku bersenandung.
Alasanku
membuka florist karena aku ingin ibu bahagia, aku ingin hidupkan selalu ayah
dalam keluarga meski aku tak mempedulikan apa yang ayah lakukan. Aku juga sudah
membuat kehidupanku dan ibu lebih sejahtera seakan semua sudah lengkap, yah
pikirku dalam hati.
“Rahma,
kamu lagi apa? Ada tamu tuh!” ternyata ibuku, dia mengetuk pintu kamarku dengan
tak sabar. “Ya yaa bu.” Dengan sedikit merapikan rambut dan pakaian, aku
berjalan ke ruang tamu.
Di
ruang tamu, “Rahma… masih ingat aku?”. Aku menatap pangling, heran, tapi
seharusnya sudah lama tak ada senyum seorang lelaki yang dapat menggetarkan
hatiku, tetapi senyumnya dapat menggetarkan hatiku, mungkinkah… “Mas Handi?”.
Orang itu hanya mengangguk tersenyum, “kau begitu berbeda mas” aku
menghampirinya dan memeluknya. “Aku kan pernah janji, nah sekarang aku nepatin
janjiku. Aku sudah bekerja sekarang dan kurasa kehidupanmu pun membaik”
ucapnya “ehmmm. Hey aku punya sesuatu
untukmu, ini”. “ini kan bunga dari florist-ku?” tanyaku heran. “emang, haha bercanda… Rahma.. would you marry me?”
Dia tiba-tiba berlutut dan menyodorkan cincin padaku. Aku tak tahu harus
bagaimana, semua sungguh tak diduga, semua sungguh mengagetkan, betapa
pikiranku hamper hilang tentang cinta, tentang Handi dan kini semuanya ada di
hadapanku. “Yes I would” mulutku dengan lancarnya bicara mendahului otakku yang
memberi perintah. Tapi aku sungguh bahagia, mendapati dia kembali untukku. “dan
ibu, kini kita tak lagi berdua, akan ada yang menemani kita di hari-hari
berikutnya” batinku. “Terimakasih Handi” ucapku lirih dan dipeluknya diriku.